“Melampaui keserakahan diri”
"Kita selalu mengira mendapatkan keinginan itu merupakan kebahagiaan yang sesungguhnya".
Beberapa hari yang lalu kita di kejutkan oleh
peristiwa meninggalnya seorang artis anak dari aktor pemain Rambo
Sylvester Stallone yakni Sage Stallone (36th) yang terkenal saat main film
Rocky bersama ayahnya, tewas di duga over dosis (www.jpnn.com, 14 Juli 2012). Beberapa bulan lalu lagi-lagi
publik dikejutkan dengan tewasnya seorang diva dunia dalam kamar mandi salah
satu hotel. Belakangan publik baru mengetahui bahwa sang diva ternyata telah
lama addicted terhadap narkoba dan
minuman keras.
Lalu dari dalam negeri setiap hari ada saja kabar
negatif tentang para pengawal birokrasi yang berurusan dengan hukum. Total 173
kepala daerah sedang menghadapi sidang
sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dalam kasus-kasus korupsi (Kompas, 17 April 2012).
Itu hanyalah sepenggal contoh dari kisah-kisah
“tragis” anak manusia dalam bingkai yang berbeda, meski mereka sama- sama memiliki
latar belakang kondisi finansial yang hampir di atas rata-rata penduduk
Indonesia. Dari sini kemudian muncul pertanyaan, Apa yang membuat mereka tidak
bisa bahagia dengan kekayaan yang berlimpah? Apa yang menyebabkan para kepala
daerah itu mau berurusan dengan hukum kalau nominal pendapatannya sudah lebih
dari masyarakat umum ? Lalu kegelisahan macam apa yang menyebabkan seorang aktor
dan produser dunia yang pundi-pundi kekayaannya segunung, harus mengakhiri
hidupnya dengan tragis? Pun dengan sang diva yang tiada diragukan lagi prestasi
serta kepopuleran di masa jayanya, “apa yang membuatnya tersungkur dalam dunia
obat-obatan terlarang dan minuman keras? Apakah justru kepopuleran itu sendiri
penyebabnya, sesuatu yang diburu oleh banyak orang??” ... benar-benar paradoks.
Jika mau jujur,
bisikan hasrat dari dalam tiap jiwa adalah ingin memiliki apa yang dipunyai
orang lain, betul tidak? Kita berangan
seandainya kita bisa mempunyai apa yang mereka punya, maka pastilah bahagia
sentosa hidup kita. Kita terpesona akan
dunia dan meyakini bahwa memiliki
kekayaan dan materi berlimpah merupakan sumber kebahagiaan hakiki.
Ego kita sebagai manusia seringkali bertutur, kita ingin
menggenggam siang , tapi tidak menginginkan malam. Sementara faktanya siang dan
malam silih berganti secara seimbang sesuai kaidah rotasi bumi. Analoginya kita
selalu ingin bahagia tanpa mau menderita, kemudian demi menggapai bahagia itu
kita rela melakukan segala macam cara. Padahal postulat hidup jelas menegaskan
nasib itu ibarat roda, berotasi mengitari pusat kehidupan. Ada siang, ada
malam. Ada bahagia, ada menderita.
Belum tua sudah pelupa
Persoalan mendasarnya sekarang adalah ingin hidup terus
bahagia tanpa mau menderita. Falsafah keakuan seperti ini sudah pasti menentang
kehidupan itu sendiri, di mana hidup mengenal ketidakkekekalan, ada saatnya awan putih datang, ada waktunya
ia pergi. Kita tak bisa terus menginginkannya ada di langit.
Ketika tiba waktunya bunga layu kemudian jatuh dari
tangkainya tetapi kita menginginkannya untuk tetap bersemi, bukankah hal ini juga
merupakan penyakit lupa (akan ketidakkekekalan segala sesuatu) yang telah lama
menjangkiti hati kita?
Pertanyaan lain yang sering terlupakan adalah setelah impian yang di kejar terpenuhi,
apakah keinginan kita sudah habis? Tidak ada lagi ? Tentu sebagai manusia, kita
pasti akan menjawab masih ada, dan yang mengejutkan keinginan itu justru
cenderung bertambah besar. Setelah bisa membeli sepeda, ingin membeli motor,
setelah itu terpenuhi muncul keinginan memiliki mobil, muncul lagi keinginan
menaklukkan pasar, belum puas lagi, lantas ingin terjun menjadi penguasa, dst.
Kita selalu mengira mendapatkan keinginan itu
merupakan kebahagiaan yang sesungguhnya, setelah mendapatkan ternyata bukan,
kita mencarinya lagi dengan keinginan yang baru namun lagi lagi ternyata bukan
kebahagiaan yang sesungguhnya yang di dapat.
Saat kita melihat dengan mata telanjang matahari
bergerak dari timur ke barat dan tenggelam, belakangan tersadar setelah
mengagumi terbitnya mentari kesana kemari ternyata matahari tidak bergerak
kemana-mana.
Ini seperti mata pancing yang tertancap pada mulut
ikan, siapa saja yang melekatkan kebahagiaan pada ha-hal di luar(materi, nama tenar,
jabatan dll) dia sulit melepaskan diri. Marah, sakit hati, iri dengki adalah
ekspresi dari kecanduan kemelekatan pada hal-hal di luar diri. Bak seekor
kucing yang mencuri ikan asin saat tuan rumahnya tidak memberinya makan seperti
yang biasa di berikannya, seperti itulah kecanduan kemelakatan kebahagiaan pada
hal-hal di luar.
Kesadaran dari dalam
Melihat tumpukan persoalan dan masalah akibat kelupaan
kita, kinilah saatnya kita mulai menumbuhkan kesadaran betapa berbahayanya
melawan hukum kehidupan dengan terus meletakkan keinginan di atas segalanya
yang berupaya kehidupan harus mengikuti keinginan dan banyak keinginan, bukankah
kini saatnya kita mulai harus memindahkan alamat kebahagiaan yang bermula dari luar
ke dalam, dari memimpikan enaknya menjadi pejabat dirubah menjadi betapa
enaknya melayani masyarakat, dari memimpikan untuk dipuji karena kaya saatnya
kini menumbuhkan perasaan menjadi diri sendiri.
Sadar bahwa kita bisa mengatur kebutuhan yang memang
kita perlukan, kita tidak perlu lagi untuk melebihkan anggaran belanja sehingga
tidak terjadi pemborosan dan bergaya yang tidak perlu.
Mengenai tumbuhnya kesadaran seperti ini tepat jika
meminjam kata-kata indah dari Rumi : “Yesterday I was clever, so I wanted to changed the world. Now I am wise, so I am changing myself ”. Guru lain pernah
mengatakan bahwa sebenarnya apa yang kita butuhkan hanyalah sedikit namun
keinginan tidak memiliki batas yang membuat kebutuhan nampaknya sangat banyak
dan rumit.
Sekarang kita sudah tahu apa yang menyebabkan pejabat
berbohong kepada publik?, apa yang mendorong sampai 173 kepala daerah berurusan
dengan hukum?, Maraknya korupsi dan banyak kejahatan lainnya tentu bentuk lain
dari berbahayanya keinginan yang dijadikan tuan atau pemimpin.
Jika fokus pada hal-hal eksternal hanyalah bagaimana
bisa mendapatkan dan banyak mengumpulkan piagam pujian, namun kebahagiaan di
dalam dibangunkan dengan banyak melepaskan yang justru tidak semakin berkurang
malahan semakin meningkat.
Diantara kita yang sudah mulai tersadar akan hal ini
seringkali berucap: “ Seperti ada ruang yang sangat luas di dalam diri ketika
memindahkan kebahagiaan dari luar ke dalam, memang di sana masih ada keinginan
yang berbunyi namun sudah tidak bisa mengganggu lagi”.
Ibarat air yang mampu mencapai samudera dengan kelenturan
dan kelembutan, kita hanya akan tersenyum diperjalanan ini sambil berbagi hingga
sampai tujuan.
Seperti matahari yang terbit di pagi hari dan
tenggelam di sore hari, kita yang sudah sadar dan melihat kebahagiaan di dalam
(rasa cukup yang sudah di tumbuhkan) tidak mencari-cari matahari terbit di
tempat yang jauh dan tinggi, karena saat terbit atau tenggelam di manapun sama
indahnya.