Kamis, 10 November 2011

Murnikan Diri Murnikan Hidup

"Memurnikan diri dengan kejujuran, ketulusan dan keikhlasan menjadikan diri seperti air yang jernih dan berkilaukan cahaya".


Di kala hujan seperti saat ini, saya teringat masa 20 tahun yang lalu saat masih di kampung. Di belakang rumah di tengah hujan yang lebat, ada seekor ayam betina sedang berteduh di bawah pohon yang rindang dengan anak-ananknya, sementara di tempat lain yang terbuka ada bebek yang menceburkan diri di genangan air, ia nampak sangat bahagia dengan air hujan yang turun. Terlihat ayam bahagia apa adanya di bawah pohon, sementara bebek juga bahagia apa adanya di genangan air.

Hikmah yang tersirat dalam sketsa ayam dan bebek tadi membisikkan sebuah makna bahwa kebahagiaan akibat perbedaan dan perbandingan itu hanya ilusi dan realitanya tidak nyata. Jika memang ada bahagia karena perbedaan dari perbandingan, maka itu hanya buatan pikiran sendiri yang sebentar kemudian hilang dan menguap berganti kesedihan yang datang. Ini mirip dengan kata seorang guru yang menganalogikan, “jika di ruang tamu sedang bahagia maka di kamar tidur kesedihan sedang menunggu”.

Dalam keseharian, jika ada tetangga yang membeli kendaraan baru, tiba-tiba kita merasa tidak senang, tidak nyaman, di dalam hati kita meratap, “Awas ya ntar aku beli yang lebih wah lagi dari pada mobilmu itu!”.

Jika ada tetangga anaknya bisa masuk sekolah favorit kita merasa tersakiti, iri, dll.

Seringkali kita tidak bisa melihat segala sesuatu apa adanya, kita selalu hidup dalam batin yang terus menilai dan membandingkan. Tidak ada ketulusan dan keikhlasan dalam melihat segala sesuatunya.

Melanjutkan cerita di kampung tadi, dulu di tahun 80-an, seingat saya banyak terdengar tiap pagi orang bernyanyi di kamar mandi seperti burung yang bersiul bersahutan, suasananya lepas, bebas, nampak asli, jujur, dan tulus.

Sekarang di pagi hari masih ada suara kicau burung meski sudah tidak seramai dulu, yang berbeda saat ini warga kampung lebih suka sarapan gosip di TV yang berisi celaan, makian, dan umpatan.

Sudah jarang orang bersiul lepas menikmati pagi sekalipun hanya di kamar mandi.

Orang dulu menjunjung tinggi kejujuran, sekarang yang ada malah ketakutan berbuat jujur. Takut tidak lulus, takut dicela, takut tidak mendapat proyek, takut miskin. Intinya orang jujur takut tidak mendapatkan kesenangan dunia. Ada ungkapan jawa, “Jamane jaman edan, nek ra melu edan ra keduman”. Ironis, guru kepalsuan hidup subur di dalam batin yang terus membandingkan diri dengan orang lainnya, yang pejabat saling berlomba mengumpulkan pundi-pundi kekayaan, sementara para politisi berlomba menarik konstituen dengan berbagai cara.

Teringat di bangku sekolah dulu, para guru ekonomi selalu menekankan ketakutan pada anak didiknya; bahwa jumlah penduduk semakin meningkat sementara persediaan akan kebutuhan semakin menipis. Akan tetapi kenyataan, saat hujan air tidak bertambah, saat kemarau air juga tidak berkurang. Para pengagum logika tidak akan mempercayai pernyataan seperti ini. Namun inilah realitanya, dari mulai sekolah menengah dulu dua puluh tahun lalu hingga saat ini, pengamatan para ahli ekonomi itu tidak pernah terbukti. Bahkan dengan 6 millyar penduduk bumi saat ini, alam tetap kaya dan tidak pernah berbohong dalam memberi nafkah pada penduduknya.

Mari kita belajar dari alam, alam tidak mencuri untuk memberi kita rezeki, alam juga tidak pernah korupsi untuk menumbuhkan padi, jagung dll, alam juga tidak kehabisan air saat menurunkan hujan.

Apa rahasia alam sehingga bisa hidup berkelimpahan dan tidak pernah kekurangan; kejujuran, keihklasan, dan ketulusan itulah yang dilakukan oleh alam semesta. Akankah kita masih ingin berguru pada pikiran yang penuh dengan egois atau pada hidup yang telah menunjukkan bukti dan realitas pada kita selama ini?. Jika kita masih ingin hidup penuh rekayasa, kita masih ingin dikedalikan pikiran, jika kita bisa hidup apa adanya dan seperti alam sebagai guru kita selama ini, bukankah hanya bahagia dan bahagia yang kita dapati seperti manusia- manusia yang menjadi guru agung buktikan selama ini.

Alam semesta selalu berbelas kasih kepada siapapun, itulah cermin dari keikhlasan, kejujuran, dan ketulusan.

Kebanyakan dari kita tidak memperhatikan bahwa ketidakseimbangan dalam berkata, berpikir dan merasa menjadikan tubuh tidak memiliki keseimbangan. Jika selama ini kita mendapatkan informasi bahwa penyakit disebabkan oleh makanan tertentu, nampaknya perlu dilihat lebih jauh bahwa ketidakseimbangan batin dan pikiran adalah sumber penyakit yang sering tidak kita lihat. Pikiran tidak terkendali mengakibatkan batin yang gelisah, dipenuhi prasangka negatif.

Seorang teman pernah mengatakan, inti meditasi yang di katakan oleh para guru sebenarnya ada dalam keikhlasan, kejujuran dan ketulusan yaitu serasinya merasa, berpikir dan bertindak atau berucap. Terkadang dalam hidup yang penuh persaingan dan pergulatan, kita sulit mempraktekkannya. Ikhlas ketika menerima kesenangan dan hadiah pasti mudah dilakukan, akan tapi ikhlas dalam kesedihan dan penderitaan? Jujur saat kaya saja sulit, bagaimana jika jujur saat kita miskin, tentu ini lebih sulit lagi.

Seruling yang ditiup terbuat dari bambu yang di haluskan oleh kejujuran, dilobangi oleh keihklasan dan di tiup dengan ketulusan akan menghasilkan nada-nada jiwa yang mengalun jernih hening dan damai. Seperti air yang sangat jernih dan bening berkilau saat terkena sinar matahari, seperti langit biru yang cerah tanpa awan yang menutupi, mungkin itulah diri yang dihiasi oleh kejujuran, keikhlasan dan ketulusan.

6 komentar:

  1. manusia diciptakan memilki hawa nafsu, jadi mudah iri

    itu sebabnya Allah mengajarkan iman dan takwa untuk melawan hawa nafsu itu

    BalasHapus
  2. Hidup memang pilihan jadi mau tidak mau harus di jalani. Tetap semangat.

    BalasHapus
  3. subhanallah,, begitulah hidup itu

    BalasHapus
  4. Kalau alam bisa sedemikian jujurnya, mengapa manusia tidak bisa? Padahal manuaia juga bagian dari alam?

    BalasHapus
  5. Suatu kebiasan manusia yang selalu membaut alam menjadi untuk tidak bersahabat yang selalu mencelakaan kehidupan mausia.

    Sukses selalu
    Salam
    Ejawantah's Blog

    BalasHapus