Senin, 19 Desember 2011

Pilih Sukses atau Bahagia?


“Ah...bukan kesuksesan yang sesungguhnya Anda cari, melainkan kebahagiaan”. Demikian ungkapan seorang teman yang hebat, saya termenung mendengarnya.

Tidak bisa disangkal hampir setiap orang ingin merasakan namanya “sukses”.

Alam telah bertutur; “Berada di puncak gunung memang terlihat mempesona dan menawan, berada di lembahnya ternyata juga tak kalah indah dan mempesona”.

Seperti analogi tadi, seorang guru bisa merasakan kebahagiaan ketika mengajar murid-murid di sekolah. Di sisi lain petani yang sehari-hari menanam padi dan jagung di sawah juga bisa merasa bahagia. Kita masing- masing mempunyai jalan sendiri dalam menapaki kehidupan ini, guru tidak pernah iri pada petani begitu pula petani tidak juga menyesal dan iri pada guru.

Masih ingat dengan teori relativitas Einstein?... jika pergi kekamar mandi kita akan merasa dingin, karena suhu lebih rendah dibanding suhu ruangan. tapi ternyata ketika membuka lemari es akan terasa lebih dingin lagi. Kita bisa merasa paling sukses dikampung kita, tapi di waktu yang sama kita bisa juga merasa lebih kecil jika berada di kampung sebelah. Menurut orang lain kita mungkin nampak sangat sukses, sedang menurut penilaian kita sendiri orang lain jauh lebih sukses.

Dari pemikiran tersebut, kita selamanya akan nampak lebih dan nampak kurang di banding yang lainnya. Jadi di mana sukses yang selalu kita elu-elukan selama ini?...di mana keberadaannya?...bukankah itu hanya ada dalam pikiran kita sendiri ??

Dengan kesadaran seperti ini, bukankah yang terus menerus kita cari sebenarnya hanyalah bahagia? Ada yang mengibaratkan ketika kita memburu sukses, seperti kucing yang mengejar ekornya, semakin di buru semakin sulit memperolehnya, tapi ketika berhenti, ekornya juga akan berhenti. Maka akan mudah mendapatkannya.

Mengutip dari ungkapan Neville yang sangat terkenal, “ a Change your feeling a change your destiny”, ini menegaskan bahwa bukan hal-hal diluar yang seharusnya kita kejar, namun sesuatu yang ada di dalam.

Belakangan ini, di toko-toko buku, banyak kita dapati buku-buku motivasi yang berbicara tentang bagaimana membangun kekuatan diri dengan membangunkan kekuatan dari dalam. Kita juga masih ingat dengan buku fenomenal The Secret yang di susul buku-buku serupa lainnya. Mereka membicarakan hal yang hampir sama, yaitu tentang happiness dengan berbagai makna dan sudut pandang.

Mengganti apa yang ada di dalam, yaitu pikiran dan perasaan memerlukan ketekunan dan ketrampilan, sama seperti mengubah tanah liat menjadi emas berlian. Mudah memang membicarakannya dan mengkonsepnya. Saat hal itu terjadi, di saat itulah kita benar-benar mengenali siapa diri kita. Contoh sederhana saja, saat mendapatkan pujian perasaan kita melambung terbang tinggi, namun di saat kita di cela dan di caci bisakah kita tetap melambung dan terbang tinggi?.

Seorang bijak mengatakan: “Untuk bisa berdamai dengan apa yang ada di luar, untuk mampu melihat bahwa hidup menghidupi kita harus di mulai dengan berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan kekurangan-kekurangan kita, baru kedamaian (kesuksesan) akan bisa terbuka”.

Bahagia bisa mengubah segalanya, bahagia menunjukkan Anda sudah sukses, sudah sembuh, dan sudah makmur.

Terapi Qolbu dalam perjalanannya telah bertemu dengan banyak orang yang nampaknya sangat sukses, mereka pada umumnya mengatakan: “Ah yang penting sukses dulu, yang lain gampanglah”. mendahulukan untuk Sukses terlebih dahulu baru kemudian bisa bahagia, kenyataannya setelah semua tercapai, setelah semua nampaknya terpenuhi ada hal yang tidak bisa di lepaskan yaitu derita kemelekatan dan keakuan. Dorongan untuk mengejar ekornya sendiri menyanderanya dalam perburuan tiada henti, ada jurang yang menganga di dalam diri mereka.

Sepertinya mereka ingin berkata bahwa Kesuksesan haus dan lapar akan sebutan positif, kebajikan(baca bahagia) memadukan positif dan negatif menjadi cahaya kehidupan.

Film The Secret dalam endingnya menyampaikan satu kunci, yaitu berbahagialah saat ini. Kebahagiaanlah yang akan menarik kebahagaiaan yang lain. Jadi sukses atau bahagia yang harus kita pilih?....cukuplah bahagia sebab yang lain akan mengikuti.


Kamis, 01 Desember 2011

Manajemen Amarah

Seorang sahabat pernah bercerita kalau dia sangat mengeluhkan hubungannya dengan isterinya. Mulai bangun pagi, jika dia telat bangun maka isterinya langsung pasang muka tidak suka, cemberut hingga berangkat kerja. Sahabat itu bilang: “Saya tiap pagi sarapan kemarahan”.

“Pemarah itu lucu”, lanjut cerita teman itu.

Gimana tidak, ketika seseorang marah ia berusaha menunjuk orang lain yang seharusnya bertanggung jawab. Akan tetapi seperti seseorang yang berdiri di depan cermin, pemarah itu sedang menunjuk dirinya sendiri. Dengan penuh emosi dia menyerang cermin gambarnya sendiri yang jelek dan dianggap buruk. Lucunya pemarah itu tidak tahu bahwa yang diumpat, dicerca adalah dirinya sendiri. Jadi seorang yang sedang marah itu tidak sadar bahwa dia sedang asyik bergulat dengan diri sendiri.

Pemarah kadang-kadang tersadar setelah masuk rumah sakit terkena tekanan darah tinggi, stroke, kanker dan lain-lain.

Menurut sejumlah terapi kepribadian, emosi negatif termasuk amarah harus diekspresikan, namun itu akan sangat membahayakan diri dan orang lain. Konon emosi marah akan hilang jika di pukulkan pada bantal atau mengguyur kepala berulang-ulang dengan air, tapi seperti tanaman yang disirami dan diberi pupuk, emosi negatif (amarah) ternyata semakin membesar dan membakar.

Jalan lain untuk mengobati marah adalah dengan menyadari, mengenali, dan menjadikannya tamu yang terhormat.

Seperti tamu yang datang di rumah kita, jika kita temui dan kita ajak obrol dengan baik dan sopan, maka tamunya menjadi ramah dan sopan juga, akhirnya terjadilah hubungan harmonis yang menjadi cahaya di ruang jiwa, layaknya kabel listrik yang memadukan positif dan negatif menjadi cahaya lampu yang terang berkilau, itulah kebanyakan sahabat pilih yang sudah bosan dengan cara sebelumnya yang menendang bantal, membanting piring dll. Hasilnya amarah menjadi cinta yang berbelas kasih, penyakit menjadi tersembuhkan karena ada hati yang rendah hati, musuh menjadi teman yang sangat menghormati, isteri menjadi tersenyum dan tersenyum.

Pandangan yang semula orang lain yang harusnya bertanggung jawab akhirnya berangsur-angsur bisa disadari dan diambilalih oleh diri sendiri, dan dinyalakan menjadi cahaya kehidupan.

Saat tersadar bahwa amarah adalah emosi yang berbahaya, maka teman saya tidak pernah membalas saat isterinya marah. Dia mulai mengerti bahwa amarah muncul karena dia kekurangan perhatian, cinta dan kurang bahagia. Oleh karena itu dia merangkul amarah isterinya dan menjadikannya tempat untuk berwelas asih. Jadi jika setiap kali bertemu dengan seorang yang sedang marah jadikan momen itu tempat untuk berbelas kasih karena ada yang sedang menderita kekurangan.

Jika sekarang Anda sudah tersadar bahwa marah berarti memarahi diri sendiri, memusuhi diri sendiri, dan menunjukkan kepada orang lain bahwa Anda sedang miskin, sedang menderita, lantas apakah Anda akan marah lagi pada anak buah Anda, apakah Anda akan memarahi Anak anda yang nakal, apakah Anda masih ingin berucap kata-kata kasar dengan segudang nama-nama binatang?....hehehehe....Anda mau menyebut diri Anda sendiri dengan nama-nama binatang....benarkah?...

Jika Anda sampai saat ini masih dikendalikan oleh amarah, berarti Anda sedang memusuhi diri sendiri , entah Anda marah terhadap koruptor, politisi, atau pemerintah, marah terhadap situasi cuaca panas, hujan, terhadap kata-kata orang lain, orang tua Anda, sahabat Anda, atasan Anda, dll....apakah Anda mau menghabiskan seluruh sisa usia Anda untuk terus menyakiti diri Anda sendiri?....

Mudah untuk memeriksanya, coba raba dada sebelah kiri Anda, dengarkan detak jantung Anda, dia akan mengatakan apakah Anda sedang penuh amarah atau sedang tersenyum penuh maaf, jika detaknya normal tenang dan penuh kedamaian maka Anda tidak dipengaruhi amarah, jika detak itu terlalu cepat, keras, cepat-cepatlah memaafkan atas penyebab emosi yang muncul tersebut (baca amarah).

Menarik sekiranya artikel ini kita tutup dengan pernyataan dari Wayne W Dyer yang saya ambil dari statusnya di facebook;

“When you judge another, you do not define them, you define yourself”.