Selasa, 22 November 2011

Menjadikan Kesulitan sebagai Kunci Menggapai Sukses

“Apa yang membuat hidup nampaknya sangat sulit?” Mungkin ini adalah hal yang ditanyakan hampir setiap orang.

Suatu hari seorang teman bercerita, ia kehabisan bensin dalam perjalanan pulang, sementara uang yang ada akan diberikan kepada isterinya untuk kebutuhan besok hari. Dia menepikan motornya dan menangisi hidupnya. “Kenapa Hidupku belum juga berubah?” Lebih jauh dia bertanya: “ Adakah kunci untuk kaya dan makmur tanpa kesulitan dan kekurangan?”

Kawan, hidup itu nampak sulit karena kita selalu merasa lebih tahu bagaimana hidup ini seharusnya menurut versi kita. Mari kita perhatikan dunia ini dengan cara yang berbeda, bisakah kita tahu apa yang sedang terjadi detik ini di kota lain? bisakah kita melihat apa yang terjadi saat ini di belahan bumi lainnya? Kemudian di dalam perut kita, apakah bisa kita melihat proses yang sesungguhnya terjadi?

Kawan, kita memiliki keterbatasan, Jika hidup hanya mengandalkan (sebatas) apa yang kita tahu tentang apa yang paling baik atau paling buruk buat masa depan kita, tentu ini sangat membatasi dan menggelisahkan. Artinya Melihat yang tidak kita ketahui dari keterbatasan.
Kita cenderung membayangkan apa yang kita inginkan terjadi tanpa harus melakukan ini dan itu, karena kita merasa lebih mengetahui bahwa ini nanti pasti begini dan begitu. kita lebih sering sibuk dengan defenisi-defenisi mental kita untuk menilai bagaimana seharusnya sesuatu terjadi agar dikatakan baik oleh diri kita dan orang lain.

Ketika kehabisan bensin, teman saya tadi mengeluh dan menangis, bagaimana kalau perilaku itu di ubah. Kita lakukan sebaliknya, kita tetap mengisi bensin dengan hati gembira dan lapang, meski kita tahu uang itu sebenarnya untuk kebutuhan esok hari. Kita gembira masih bisa sampai tujuan, sebab bukankah apa yang terjadi nanti kita sama-sama tidak tahu.

Pertanyaan yang mungkin muncul dalam benak sebagian orang, “kalau saya harus gembira disaat uang saya habis, bukankah saya sedang menipu diri saya sendiri?”

Kawan, pikiran kita tidak bisa menjangkau keseluruhan, kita hanya tahu sepotong-sepotong saja, dan kita cepat-cepat menarik kesimpulan bahwa itu baik dan ini buruk, sehingga kita juga bereaksi dengan cepat terhadap situasi dan kondisi yang sebenarnya baru kita ketahui sepotong-sepotong tadi. Betapa hal ini sangat membatasi.

Mungkin kita pernah melihat seseorang sangat gembira saat mendapatkan hadiah mobil, tapi tidak berapa lama kemudian dia masuk rumah sakit akibat kecelakaan ketika mengendarai mobil hadiah itu.
Nah, di saat menerima mobil dia begitu senang dan gembiranya, bahkan orang-orang terus berkata betapa beruntungnya dia. Namun setelah kecelakaan itu terjadi, hatinya perih dan berujar “ Andai saya tidak mendapatkan hadiah mobil itu”.

Kita lebih cenderung melihat dan memburu kesenangan dan menolak kesulitan, kita tidak bisa melihat bahwa kesenangan dan kesedihan itu sama dan satu, ibarat dua sisi mata uang, ibarat siang yang mengandung malam. Tidak terpisahkan satu dengan lainnya.
Orang lain mungkin melihat betapa enaknya memiliki mobil, nyaman, tidak kepanasan, tidak kehujanan. Akan tetapi pemilik mobil juga melihat enaknya mengendarai motor, lebih irit, lebih cepat sampai tujuan, apalagi ketika terjebak kemacetan di sepanjang jalur mudik misalnya.

Jadi kawan, jika datang kesulitan lebih baik kita belajar menyetujuinya, sebab dikala kesulitan datang, di saat yang sama kunci untuk tumbuh dan sukses juga di berikan. Sebaliknya jika kita hanya fokus pada kesenangan, kita akan cenderung lari dan menyerah penuh keluhan kala kesulitan datang.

Memang seperti yang sudah sama-sama kita ketahui, membuat konsep tidak sesulit mempraktekannya. ketika ada yang memperlakukan kita dengan semena-mena sementara hati diminta untuk terus tersenyum dan berterimakasih, tentu ini bukan perkara yang mudah. Namun bagi batin yang seimbang tentu tidak sulit melakukannya.

Tertawa di saat gembira memang sangatlah mudah, tapi tersenyum di saat sedih betapa sulitnya. Namun hidup memang mengajari kita untuk mengalami kedua hal itu, entah baik atau buruk (dalam versi kita), senang atau sedih, yang diminta adalah bagaimana kita menyikapinya. bagaimana sikap kita bisa jadi itulah cermin dari kondisi batin kita.


Ada cerita menarik saat saya dan isteri berlebaran ke kota Nganjuk. Ceritanya ada teman yang baru saja pindah dari Bali ingin memulai usaha di kota itu karena merasa tempat sebelumnya tidak memberikan kesuksesan bagi bisnisnya. Baru saja ia tiba dari Bali, belum juga usaha barunya dijalani, rumahnya disatroni pencuri. uang modal usaha , perhiasan, handphone raib seketika.

Mulanya teman tesebut merasa down dan menyesal pindah ke Nganjuk, namun keluarganya mencoba menghibur dan memintanya ikhlas. Beberapa bulan kemudian, tahukah kawan apa yang terjadi ? usaha yang baru dibuka sudah mulai ramai, hasilnya berlipat di luar dugaan, bahkan kini melebihi hasil bulanan dibandingkan bisnisnya di Bali.

Inilah yang dimaksudkan sejak awal. Bahwa cara –cara hidup bekerja kadangkala tidak bisa diterima oleh nalar. Matematika dalam logika manusia jauh berbeda dengan matematika langit. Ketika yang nampak adalah kesulitan dan keburukan, kita bersedih, putus asa, marah. Namun setelah keadaan berubah dan situasi menjadi menggembirakan buru-buru kita menyadari bahwa ada rahasia di balik itu semua. Barulah nalar kita mau menerimanya.

Ingatkah kawan bagaimana wujud ulat sebelum menjadi kupu-kupu? Karena buruknya, ia dijauhi bahkan dibenci. Akan tetapi setelah sang ulat bermetamorfosa dari kepompong menjadi kupu-kupu, semua orang memujanya. Sebab ia adalah simbol kecantikan dan keanggunan.
Kesulitan mulanya juga dialami oleh cincin berlian yang sangat dikagumi keindahannnya. ketika diproses untuk ditempa dan dibentuk, ia harus dipanasi dalam api terlebih dahulu hingga akhinya jadilah cincin berlian yang mengkilau.

Kawan, guru-guru besar telah mengalami hal yang sama. Salah satunya Lihatlah cerita mengharukan dari Nelson Mandela yang harus menjalani kehidupan di dalam penjara selama 27 tahun terlebih dahulu sebelum membawanya menjadi seorang presiden Afrika Selatan.

Seperti sahabat dari Jawa bilang “Minum jamu(baca kesulitan) memang pahit rasanya, namun badan terasa menjadi lebih segar dan sehat(tumbuh sukses) karenanya”.

Seorang guru yang mengetahui rahasia hidup sukses juga pernah mengatakan; “Seandainya kita tahu bahwa hidup di dorong kemajuannya oleh kesulitan dan penderitaan, maka kita akan berdoa untuk diberikan banyak masalah”.


Kesimpulannya, kesediaan kita menerima kesulitan yang datang, sama seperti menerima kunci yang siap di gunakan untuk membuka pintu kesuksesan berikutnya.
Dan pada akhirnya jawaban dari pertanyaan, “Adakah kunci untuk kaya dan makmur tanpa kesulitan dan kekurangan?”... yaitu dengan menyetujui cara-cara hidup menghidupi kita, kita akan bisa melihat bahwa hidup sebenarnya bekerja untuk kita dan terus mendukung kita.

Terima kasih

Salam

Kamis, 10 November 2011

Murnikan Diri Murnikan Hidup

"Memurnikan diri dengan kejujuran, ketulusan dan keikhlasan menjadikan diri seperti air yang jernih dan berkilaukan cahaya".


Di kala hujan seperti saat ini, saya teringat masa 20 tahun yang lalu saat masih di kampung. Di belakang rumah di tengah hujan yang lebat, ada seekor ayam betina sedang berteduh di bawah pohon yang rindang dengan anak-ananknya, sementara di tempat lain yang terbuka ada bebek yang menceburkan diri di genangan air, ia nampak sangat bahagia dengan air hujan yang turun. Terlihat ayam bahagia apa adanya di bawah pohon, sementara bebek juga bahagia apa adanya di genangan air.

Hikmah yang tersirat dalam sketsa ayam dan bebek tadi membisikkan sebuah makna bahwa kebahagiaan akibat perbedaan dan perbandingan itu hanya ilusi dan realitanya tidak nyata. Jika memang ada bahagia karena perbedaan dari perbandingan, maka itu hanya buatan pikiran sendiri yang sebentar kemudian hilang dan menguap berganti kesedihan yang datang. Ini mirip dengan kata seorang guru yang menganalogikan, “jika di ruang tamu sedang bahagia maka di kamar tidur kesedihan sedang menunggu”.

Dalam keseharian, jika ada tetangga yang membeli kendaraan baru, tiba-tiba kita merasa tidak senang, tidak nyaman, di dalam hati kita meratap, “Awas ya ntar aku beli yang lebih wah lagi dari pada mobilmu itu!”.

Jika ada tetangga anaknya bisa masuk sekolah favorit kita merasa tersakiti, iri, dll.

Seringkali kita tidak bisa melihat segala sesuatu apa adanya, kita selalu hidup dalam batin yang terus menilai dan membandingkan. Tidak ada ketulusan dan keikhlasan dalam melihat segala sesuatunya.

Melanjutkan cerita di kampung tadi, dulu di tahun 80-an, seingat saya banyak terdengar tiap pagi orang bernyanyi di kamar mandi seperti burung yang bersiul bersahutan, suasananya lepas, bebas, nampak asli, jujur, dan tulus.

Sekarang di pagi hari masih ada suara kicau burung meski sudah tidak seramai dulu, yang berbeda saat ini warga kampung lebih suka sarapan gosip di TV yang berisi celaan, makian, dan umpatan.

Sudah jarang orang bersiul lepas menikmati pagi sekalipun hanya di kamar mandi.

Orang dulu menjunjung tinggi kejujuran, sekarang yang ada malah ketakutan berbuat jujur. Takut tidak lulus, takut dicela, takut tidak mendapat proyek, takut miskin. Intinya orang jujur takut tidak mendapatkan kesenangan dunia. Ada ungkapan jawa, “Jamane jaman edan, nek ra melu edan ra keduman”. Ironis, guru kepalsuan hidup subur di dalam batin yang terus membandingkan diri dengan orang lainnya, yang pejabat saling berlomba mengumpulkan pundi-pundi kekayaan, sementara para politisi berlomba menarik konstituen dengan berbagai cara.

Teringat di bangku sekolah dulu, para guru ekonomi selalu menekankan ketakutan pada anak didiknya; bahwa jumlah penduduk semakin meningkat sementara persediaan akan kebutuhan semakin menipis. Akan tetapi kenyataan, saat hujan air tidak bertambah, saat kemarau air juga tidak berkurang. Para pengagum logika tidak akan mempercayai pernyataan seperti ini. Namun inilah realitanya, dari mulai sekolah menengah dulu dua puluh tahun lalu hingga saat ini, pengamatan para ahli ekonomi itu tidak pernah terbukti. Bahkan dengan 6 millyar penduduk bumi saat ini, alam tetap kaya dan tidak pernah berbohong dalam memberi nafkah pada penduduknya.

Mari kita belajar dari alam, alam tidak mencuri untuk memberi kita rezeki, alam juga tidak pernah korupsi untuk menumbuhkan padi, jagung dll, alam juga tidak kehabisan air saat menurunkan hujan.

Apa rahasia alam sehingga bisa hidup berkelimpahan dan tidak pernah kekurangan; kejujuran, keihklasan, dan ketulusan itulah yang dilakukan oleh alam semesta. Akankah kita masih ingin berguru pada pikiran yang penuh dengan egois atau pada hidup yang telah menunjukkan bukti dan realitas pada kita selama ini?. Jika kita masih ingin hidup penuh rekayasa, kita masih ingin dikedalikan pikiran, jika kita bisa hidup apa adanya dan seperti alam sebagai guru kita selama ini, bukankah hanya bahagia dan bahagia yang kita dapati seperti manusia- manusia yang menjadi guru agung buktikan selama ini.

Alam semesta selalu berbelas kasih kepada siapapun, itulah cermin dari keikhlasan, kejujuran, dan ketulusan.

Kebanyakan dari kita tidak memperhatikan bahwa ketidakseimbangan dalam berkata, berpikir dan merasa menjadikan tubuh tidak memiliki keseimbangan. Jika selama ini kita mendapatkan informasi bahwa penyakit disebabkan oleh makanan tertentu, nampaknya perlu dilihat lebih jauh bahwa ketidakseimbangan batin dan pikiran adalah sumber penyakit yang sering tidak kita lihat. Pikiran tidak terkendali mengakibatkan batin yang gelisah, dipenuhi prasangka negatif.

Seorang teman pernah mengatakan, inti meditasi yang di katakan oleh para guru sebenarnya ada dalam keikhlasan, kejujuran dan ketulusan yaitu serasinya merasa, berpikir dan bertindak atau berucap. Terkadang dalam hidup yang penuh persaingan dan pergulatan, kita sulit mempraktekkannya. Ikhlas ketika menerima kesenangan dan hadiah pasti mudah dilakukan, akan tapi ikhlas dalam kesedihan dan penderitaan? Jujur saat kaya saja sulit, bagaimana jika jujur saat kita miskin, tentu ini lebih sulit lagi.

Seruling yang ditiup terbuat dari bambu yang di haluskan oleh kejujuran, dilobangi oleh keihklasan dan di tiup dengan ketulusan akan menghasilkan nada-nada jiwa yang mengalun jernih hening dan damai. Seperti air yang sangat jernih dan bening berkilau saat terkena sinar matahari, seperti langit biru yang cerah tanpa awan yang menutupi, mungkin itulah diri yang dihiasi oleh kejujuran, keikhlasan dan ketulusan.

Selasa, 01 November 2011

Berlayar bersama Kehidupan


Saya teringat ketika melakukan perjalanan menuju sebuah telaga di kota Magetan. Jalannya naik turun, banyak tikungan tajam bertepi jurang.

Mirip dengan analogi perjalanan tadi, hidup juga di warnai dengan naik dan turun. Ada saatnya harus berjalan pelan-pelan karena sedang berpapasan dengan kendaraan besar, ada saatnya kita meluncur turun yakni ketika mengalami situasi tanpa mengeluarkan tenaga yang berlebih, saat naik kita harus menekan pedal gas mobil untuk mendapatkan tenaga agar bisa sampai di atas.

Dalam sebuah percakapan di angkringan Jogja, seorang kawan bertanya; “Apa yang bisa membuat hidup kita berjalan mulus tanpa hambatan?”

Hidup yang terasa tidak mulus atau banyak hambatan dikarenakan kita tidak harmonis dengan kehidupan, kita tidak berlayar bersama hidup itu sendiri.

Coba kita bayangkan, saat mengendarai mobil lalu bertemu tikungan, tetapi kita “ngeyel”melaju dengan kecepatan tinggi ,apa bisa berkendara dnga gaya seperti itu? Bisa, tapi selamat? Belum tentu. Kita bisa terjatuh, menabrak pembatas jalan , lalu akan terguling.

Kita ingin cepat-cepat kaya, cepat-cepat berhasil, cepat-cepat terkenal dll, tapi karena kita menolak menyetujui prosedur yang di berikan oleh hidup, maka muncullah hambatan dan masalah. Hidup akhirnya dipenuhi dengan perjuangan yang tiada habis yang penyebabnya karena kita tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan kehidupan.

Meminjam pernyataan Stuart Wilde dalam bukunya yang menyegarkan The Whispering Winds of Change; “Jangan pernah tergesa-gesa. Berjalanlah perlahan-lahan, berbicaralah yang jelas. Jangan pernah emosional dan jangan biarkan orang memanipulasimu....”, sangat dalam, itulah kesan terpancar saat membaca pernyataan Stuart Wilde tersebut. Bagaimana tidak, dalam hidup yang menuntut kita serba cepat dan di penuhi persaingan, kita harus berjalan pelan-pelan dan diminta menikmati hidup. Tapi itulah ironi kehidupan.

Saat kita penuh dengan ketergesaan, terburu-buru, seakan-akan hidup semakin meminta kita untuk terus berlari dan berlari. segala sesuatunya akan penuh kekurangan serta kesulitan. Namun saat kita jalan melambat dan menikmati hidup, ternyata hidup juga seakan-akan ikut melambat, segala sesuatunya terpenuhi dengan mudah dan indah.

Sungguh indah bisa berlayar bersama hidup, kita seperti penumpang kapal yang sangat besar nan mewah mirip Titanic, sementara kehidupan adalah nahkoda sekaligus kapalnya. Sementara kita sedang naik kapal, kita juga menikmati pemandangan laut yang luas, indah dan agung , di iringi alunan musik yang lembut dan mengalun. Indah indah dan indah yang selalu bergumam di hati setiap saat perjalanan ini.

Seorang sahabat bisa merasakan betapa indahnya dan penuh bahagia saat berlayar bersama kehidupan, saat dia membantu mencuci piring isterinya , bekerja menyebarkan brosur sampai memasang spanduk. Dia tersenyum menikmati, seperti analogi perjalanan tadi, di saat jalan turun kita tidak perlu mengeluarkan tenaga berlebih, itulah harmoni kehidupan yang jauh dari beban, keluh kesah, dan kekhawatiran.

Dalam suatu sesi konsultasi di Terapi Qolbu, seorang pengacara yang memiliki kehidupan mapan berkata “Sungguh indah bekerja tanpa ada perasaan tertahan, dan melawan. Seperti menyatu dengan diri sendiri yaitu hidup. Itulah yang saya lakukan di setiap hari”. sejuk sejuk dan dingin saat mendengarnya.

Mengutip pernyataan dari Kahlil Gibran yang termashur; "If you cannot work with love but only with distaste, it is better that you should leave your work". berlayar bersama kehidupan yang terasa hanya sejuk, indah dan indah karena memang yang terpancar kesekeliling hanyalah Cinta dan Cinta.