Cerita
tentang perjuangan manusia dalam menggapai impian, upaya manusia meninggalkan
kegelapan menuju cahaya dengan berbagai bentuk dan segala etalasenya tidak ada
henti tercetak dalam berbagai media, lihat saja cerita
menggetarkan Bank Century, kemudian di susul kisah melodrama wisma atlit,
lalu yang
tak kalah mendebarkan baru-baru ini adalah
ambruknya sejumlah dinding
Hambalang yang dibumbui serbuan kisah klasik korupsi yang menggerogotinya.
Dari tumpukan
cerita tersebut, ada seorang teman yang bergumam pelan, “Mengapa
orang-orang tidak kembali
saja ke prinsip hidup
orang Jawa dulu yakni urip narimo ing pandhum ?”.
Kalau kita menempatkan kehidupan
sebagai guru, mungkin ia sudah berulang kali mengingatkan dan
memberi contoh untuk kita, siapa yang menginginkan banyak juga harus membayar
banyak. Namun
manusia cenderung sebaliknya, menginginkan banyak tetapi inginnya membayar sedikit. Baru
membuka usaha ,
inginnya langsung berpenghasilan
milyaran, baru menjadi pejabat pinginnya langsung memiliki rumah dan mobil mewah.
Aksi yang
menginginkan serba cepat lebih cenderung melawan hukum besi kehidupan yang
semuanya serba alami. Menolak berharmoni dengan kehidupan, menolak kealamian, mirip
memaksa bibit tanaman yang baru kemarin di tanam segera langsung berbuah dan langsung bisa
dipetik.
Alasan ingin
cepat dianggap sebagai orang yang berhasil dan tidak ingin dicap sebagai orang
tidak berguna bisa jadi salah satu dorongan orang bertindak serba instan.
Nah, mereka yang tenggelam dalam arus keinginan serba cepat akan tidak sependapat
dengan prinsip Jawa narimo ing pandhum, karena menurut
mereka, prinsip ini bersifat sangat pasif .
Padahal Jika kita mau mengkaji lebih dalam, prinsip Jawa ini seperti perilaku kehidupan dimana tidak ada kata cepat atau kata
lambat. Kehidupan tidak bersuara (narimo) dalam kehidupan sehari-hari,
kehidupan hanya merespon apa yang datang (ing pandhum).
Orang dengan
prinsip narimo
ing pandhum jauh dari nafsu serakah tapi memiliki tujuan yang tidak melekat. Seperti kehidupan
ini yang tidak melekat pada apapun, misalnya saja matahari yang memberi sinarnya pada siapapun
tanpa memilih, air mendatangi setiap rumah tanpa melihat bentuknya, udara tidak
memilih daerah beragama atau atheis.
Kehidupan berbicara
dalam ketenangan dan keheningan, hal itulah yang hakikatnya dicari oleh jiwa-jiwa yang lelah tergerus
dalam pusaran hidup yang serba instan.
Apapun yang kita lakukan saat ini, entah itu membangun usaha, menjadi pejabat, berbakti sebagai ibu rumah tangga, jika dilakukan dengan prinsip narimo ing pandhum ,
maka hati akan merefleksikan
kehidupan yang penuh kedamaian dan ketenangan.
Mirip dengan sebuah pernyataan yang menarik, “inner
contenment is the greatest wealth”. Bahwa kekayaan terbesar manusia adalah
perasaan kecukupan.
Jika
keserakahan membuat kita tidak bisa menikmati apa yang sebenarnya kita inginkan
(kedamaian ketenangan), maka narimo ing pandhum bisa menjadi obat penawar
sekaligus pengantar pulang ke rumah kedamaian dan ketenangan.
Ironinya
saat kita sudah di rumah kedamaian, kebutuhan kita menjadi tercukupi,
sepertinya kehidupan membuka diri dan mau bekerja sama saat kita bisa narimo
ing pandhum. Sederhananya, jika saat ini ada kegelisahan melanda, cobalah di
raba, mungkin saat ini kita sedang tidak menerima atau sedang dalam penolakan,
yang berarti kita sedang pergi menjauhi kehidupan. Sebaliknya, jika ada
ketulusan dalam setiap hal yang kita lakukan, bahkan dalam setiap nafas yang
keluar masuk dalam paru-paru kita, kita telah pulang di rumah kehidupan.