Kamis, 31 Mei 2012

Kembalinya “Narimo Ing Pandhum”



Cerita tentang perjuangan manusia dalam menggapai impian, upaya manusia meninggalkan kegelapan menuju cahaya dengan berbagai bentuk dan segala etalasenya tidak ada henti tercetak dalam berbagai media,  lihat saja  cerita menggetarkan Bank Century, kemudian di susul kisah melodrama wisma atlit, lalu  yang  tak kalah mendebarkan baru-baru ini adalah ambruknya sejumlah dinding Hambalang yang dibumbui serbuan kisah klasik korupsi yang menggerogotinya.

Dari tumpukan cerita tersebut, ada seorang teman yang bergumam pelan, “Mengapa orang-orang tidak kembali saja ke prinsip hidup orang  Jawa dulu  yakni urip narimo ing pandhum ?”.

Kalau kita menempatkan  kehidupan sebagai guru,  mungkin ia sudah berulang kali mengingatkan dan memberi contoh untuk kita, siapa yang menginginkan banyak juga harus membayar banyak.  Namun  manusia cenderung sebaliknya, menginginkan banyak tetapi inginnya membayar sedikit. Baru membuka usaha , inginnya langsung berpenghasilan milyaran, baru menjadi pejabat pinginnya langsung memiliki rumah dan mobil mewah.  

Aksi yang menginginkan serba cepat lebih cenderung melawan hukum besi kehidupan yang semuanya serba alami. Menolak berharmoni dengan kehidupan, menolak kealamian, mirip memaksa bibit tanaman yang baru kemarin di tanam segera langsung berbuah dan langsung bisa dipetik.
Alasan ingin cepat dianggap sebagai orang yang berhasil dan tidak ingin dicap sebagai orang tidak berguna bisa jadi salah satu dorongan orang bertindak serba instan.

Nah, mereka yang tenggelam dalam arus keinginan serba cepat akan tidak sependapat dengan prinsip Jawa narimo ing pandhum, karena menurut mereka, prinsip ini bersifat sangat pasif .
Padahal Jika kita mau mengkaji lebih dalam,  prinsip Jawa ini seperti perilaku kehidupan dimana tidak ada kata cepat atau kata lambat. Kehidupan tidak bersuara (narimo) dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan hanya merespon apa yang datang (ing pandhum).

Orang dengan prinsip narimo ing pandhum jauh dari nafsu serakah tapi memiliki tujuan yang tidak melekat. Seperti kehidupan ini yang tidak  melekat  pada apapun, misalnya saja  matahari yang memberi sinarnya pada siapapun tanpa memilih, air mendatangi setiap rumah tanpa melihat bentuknya, udara tidak memilih daerah beragama atau atheis.
Kehidupan berbicara dalam ketenangan dan keheningan, hal itulah yang hakikatnya  dicari oleh jiwa-jiwa yang lelah tergerus dalam pusaran hidup yang serba instan.

Apapun yang kita lakukan  saat ini, entah itu membangun usaha, menjadi pejabat, berbakti sebagai ibu rumah tangga,  jika dilakukan dengan prinsip narimo ing pandhum , maka hati akan merefleksikan  kehidupan yang penuh kedamaian dan ketenangan.
Mirip dengan sebuah pernyataan yang menarik,inner contenment is the greatest wealth”. Bahwa kekayaan terbesar manusia adalah perasaan kecukupan.

Jika keserakahan membuat kita tidak bisa menikmati apa yang sebenarnya kita inginkan (kedamaian ketenangan), maka narimo ing pandhum bisa menjadi obat penawar sekaligus pengantar pulang ke rumah kedamaian dan ketenangan.
Ironinya saat kita sudah di rumah kedamaian, kebutuhan kita menjadi tercukupi, sepertinya kehidupan membuka diri dan mau bekerja sama saat kita bisa narimo ing pandhum. Sederhananya, jika saat ini ada kegelisahan melanda, cobalah di raba, mungkin saat ini kita sedang tidak menerima atau sedang dalam penolakan, yang berarti kita sedang pergi menjauhi kehidupan. Sebaliknya, jika ada ketulusan dalam setiap hal yang kita lakukan, bahkan dalam setiap nafas yang keluar masuk dalam paru-paru kita, kita telah pulang di rumah kehidupan.