Kamis, 26 Juli 2012


“Melampaui keserakahan diri”

"Kita selalu mengira mendapatkan keinginan itu merupakan kebahagiaan yang sesungguhnya".


Beberapa hari yang lalu kita di kejutkan oleh peristiwa meninggalnya seorang artis anak dari aktor pemain Rambo Sylvester Stallone yakni Sage Stallone (36th) yang terkenal saat main film Rocky bersama ayahnya, tewas di duga over dosis (www.jpnn.com, 14 Juli 2012). Beberapa bulan lalu lagi-lagi publik dikejutkan dengan tewasnya seorang diva dunia dalam kamar mandi salah satu hotel. Belakangan publik baru mengetahui bahwa sang diva ternyata telah lama addicted terhadap narkoba dan minuman keras.

Lalu dari dalam negeri setiap hari ada saja kabar negatif tentang para pengawal birokrasi yang berurusan dengan hukum. Total 173 kepala daerah  sedang menghadapi sidang sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dalam kasus-kasus korupsi (Kompas, 17 April 2012).

Itu hanyalah sepenggal contoh dari kisah-kisah “tragis” anak manusia dalam bingkai yang berbeda, meski mereka sama- sama memiliki latar belakang kondisi finansial yang hampir di atas rata-rata penduduk Indonesia. Dari sini kemudian muncul pertanyaan, Apa yang membuat mereka tidak bisa bahagia dengan kekayaan yang berlimpah? Apa yang menyebabkan para kepala daerah itu mau berurusan dengan hukum kalau nominal pendapatannya sudah lebih dari masyarakat umum ? Lalu kegelisahan macam apa yang menyebabkan seorang aktor dan produser dunia yang pundi-pundi kekayaannya segunung, harus mengakhiri hidupnya dengan tragis? Pun dengan sang diva yang tiada diragukan lagi prestasi serta kepopuleran di masa jayanya, “apa yang membuatnya tersungkur dalam dunia obat-obatan terlarang dan minuman keras? Apakah justru kepopuleran itu sendiri penyebabnya, sesuatu yang diburu oleh banyak orang??” ... benar-benar paradoks.   

Jika mau jujur, bisikan hasrat dari dalam tiap jiwa adalah ingin memiliki apa yang dipunyai orang lain, betul tidak?  Kita berangan seandainya kita bisa mempunyai apa yang mereka punya, maka pastilah bahagia sentosa hidup kita. Kita terpesona akan dunia dan  meyakini bahwa memiliki kekayaan dan materi berlimpah merupakan sumber kebahagiaan hakiki.

Ego kita sebagai manusia seringkali bertutur, kita ingin menggenggam siang , tapi tidak menginginkan malam. Sementara faktanya siang dan malam silih berganti secara seimbang sesuai kaidah rotasi bumi. Analoginya kita selalu ingin bahagia tanpa mau menderita, kemudian demi menggapai bahagia itu kita rela melakukan segala macam cara. Padahal postulat hidup jelas menegaskan nasib itu ibarat roda, berotasi mengitari pusat kehidupan. Ada siang, ada malam. Ada bahagia, ada menderita.


Belum tua sudah pelupa


Persoalan mendasarnya sekarang adalah ingin hidup terus bahagia tanpa mau menderita. Falsafah keakuan seperti ini sudah pasti menentang kehidupan itu sendiri, di mana hidup mengenal ketidakkekekalan,  ada saatnya awan putih datang, ada waktunya ia pergi. Kita tak bisa terus menginginkannya ada di langit.


Ketika tiba waktunya bunga layu kemudian jatuh dari tangkainya tetapi kita menginginkannya untuk tetap bersemi, bukankah hal ini juga merupakan penyakit lupa (akan ketidakkekekalan segala sesuatu) yang telah lama menjangkiti hati kita?


Pertanyaan lain yang sering terlupakan  adalah setelah impian yang di kejar terpenuhi, apakah keinginan kita sudah habis? Tidak ada lagi ? Tentu sebagai manusia, kita pasti akan menjawab masih ada, dan yang mengejutkan keinginan itu justru cenderung bertambah besar. Setelah bisa membeli sepeda, ingin membeli motor, setelah itu terpenuhi muncul keinginan memiliki mobil, muncul lagi keinginan menaklukkan pasar, belum puas lagi, lantas ingin terjun menjadi penguasa, dst.


Kita selalu mengira mendapatkan keinginan itu merupakan kebahagiaan yang sesungguhnya, setelah mendapatkan ternyata bukan, kita mencarinya lagi dengan keinginan yang baru namun lagi lagi ternyata bukan kebahagiaan yang sesungguhnya yang di dapat.


Saat kita melihat dengan mata telanjang matahari bergerak dari timur ke barat dan tenggelam, belakangan tersadar setelah mengagumi terbitnya mentari kesana kemari ternyata matahari tidak bergerak kemana-mana.
Ini seperti mata pancing yang tertancap pada mulut ikan, siapa saja yang melekatkan kebahagiaan pada ha-hal di luar(materi, nama tenar, jabatan dll) dia sulit melepaskan diri. Marah, sakit hati, iri dengki adalah ekspresi dari kecanduan kemelekatan pada hal-hal di luar diri. Bak seekor kucing yang mencuri ikan asin saat tuan rumahnya tidak memberinya makan seperti yang biasa di berikannya, seperti itulah kecanduan kemelakatan kebahagiaan pada hal-hal di luar.

Kesadaran dari dalam


Melihat tumpukan persoalan dan masalah akibat kelupaan kita, kinilah saatnya kita mulai menumbuhkan kesadaran betapa berbahayanya melawan hukum kehidupan dengan terus meletakkan keinginan di atas segalanya yang berupaya kehidupan harus mengikuti keinginan dan banyak keinginan, bukankah kini saatnya kita mulai harus memindahkan alamat kebahagiaan yang bermula dari luar ke dalam, dari memimpikan enaknya menjadi pejabat dirubah menjadi betapa enaknya melayani masyarakat, dari memimpikan untuk dipuji karena kaya saatnya kini menumbuhkan perasaan menjadi diri sendiri.


Sadar bahwa kita bisa mengatur kebutuhan yang memang kita perlukan, kita tidak perlu lagi untuk melebihkan anggaran belanja sehingga tidak terjadi pemborosan dan bergaya yang tidak perlu.


Mengenai tumbuhnya kesadaran seperti ini tepat jika meminjam kata-kata indah dari Rumi : “Yesterday I was clever, so I wanted to changed the world. Now I am wise, so I am changing myself ”. Guru lain pernah mengatakan bahwa sebenarnya apa yang kita butuhkan hanyalah sedikit namun keinginan tidak memiliki batas yang membuat kebutuhan nampaknya sangat banyak dan rumit.


Sekarang kita sudah tahu apa yang menyebabkan pejabat berbohong kepada publik?, apa yang mendorong sampai 173 kepala daerah berurusan dengan hukum?, Maraknya korupsi dan banyak kejahatan lainnya tentu bentuk lain dari berbahayanya keinginan yang dijadikan tuan atau pemimpin.
Jika fokus pada hal-hal eksternal hanyalah bagaimana bisa mendapatkan dan banyak mengumpulkan piagam pujian, namun kebahagiaan di dalam dibangunkan dengan banyak melepaskan yang justru tidak semakin berkurang malahan semakin meningkat.


Diantara kita yang sudah mulai tersadar akan hal ini seringkali berucap: “ Seperti ada ruang yang sangat luas di dalam diri ketika memindahkan kebahagiaan dari luar ke dalam, memang di sana masih ada keinginan yang berbunyi namun sudah tidak bisa mengganggu lagi”.
Ibarat air yang mampu mencapai samudera dengan kelenturan dan kelembutan, kita hanya akan tersenyum diperjalanan ini sambil berbagi hingga sampai tujuan.


Seperti matahari yang terbit di pagi hari dan tenggelam di sore hari, kita yang sudah sadar dan melihat kebahagiaan di dalam (rasa cukup yang sudah di tumbuhkan) tidak mencari-cari matahari terbit di tempat yang jauh dan tinggi, karena saat terbit atau tenggelam di manapun sama indahnya.


Kamis, 31 Mei 2012

Kembalinya “Narimo Ing Pandhum”



Cerita tentang perjuangan manusia dalam menggapai impian, upaya manusia meninggalkan kegelapan menuju cahaya dengan berbagai bentuk dan segala etalasenya tidak ada henti tercetak dalam berbagai media,  lihat saja  cerita menggetarkan Bank Century, kemudian di susul kisah melodrama wisma atlit, lalu  yang  tak kalah mendebarkan baru-baru ini adalah ambruknya sejumlah dinding Hambalang yang dibumbui serbuan kisah klasik korupsi yang menggerogotinya.

Dari tumpukan cerita tersebut, ada seorang teman yang bergumam pelan, “Mengapa orang-orang tidak kembali saja ke prinsip hidup orang  Jawa dulu  yakni urip narimo ing pandhum ?”.

Kalau kita menempatkan  kehidupan sebagai guru,  mungkin ia sudah berulang kali mengingatkan dan memberi contoh untuk kita, siapa yang menginginkan banyak juga harus membayar banyak.  Namun  manusia cenderung sebaliknya, menginginkan banyak tetapi inginnya membayar sedikit. Baru membuka usaha , inginnya langsung berpenghasilan milyaran, baru menjadi pejabat pinginnya langsung memiliki rumah dan mobil mewah.  

Aksi yang menginginkan serba cepat lebih cenderung melawan hukum besi kehidupan yang semuanya serba alami. Menolak berharmoni dengan kehidupan, menolak kealamian, mirip memaksa bibit tanaman yang baru kemarin di tanam segera langsung berbuah dan langsung bisa dipetik.
Alasan ingin cepat dianggap sebagai orang yang berhasil dan tidak ingin dicap sebagai orang tidak berguna bisa jadi salah satu dorongan orang bertindak serba instan.

Nah, mereka yang tenggelam dalam arus keinginan serba cepat akan tidak sependapat dengan prinsip Jawa narimo ing pandhum, karena menurut mereka, prinsip ini bersifat sangat pasif .
Padahal Jika kita mau mengkaji lebih dalam,  prinsip Jawa ini seperti perilaku kehidupan dimana tidak ada kata cepat atau kata lambat. Kehidupan tidak bersuara (narimo) dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan hanya merespon apa yang datang (ing pandhum).

Orang dengan prinsip narimo ing pandhum jauh dari nafsu serakah tapi memiliki tujuan yang tidak melekat. Seperti kehidupan ini yang tidak  melekat  pada apapun, misalnya saja  matahari yang memberi sinarnya pada siapapun tanpa memilih, air mendatangi setiap rumah tanpa melihat bentuknya, udara tidak memilih daerah beragama atau atheis.
Kehidupan berbicara dalam ketenangan dan keheningan, hal itulah yang hakikatnya  dicari oleh jiwa-jiwa yang lelah tergerus dalam pusaran hidup yang serba instan.

Apapun yang kita lakukan  saat ini, entah itu membangun usaha, menjadi pejabat, berbakti sebagai ibu rumah tangga,  jika dilakukan dengan prinsip narimo ing pandhum , maka hati akan merefleksikan  kehidupan yang penuh kedamaian dan ketenangan.
Mirip dengan sebuah pernyataan yang menarik,inner contenment is the greatest wealth”. Bahwa kekayaan terbesar manusia adalah perasaan kecukupan.

Jika keserakahan membuat kita tidak bisa menikmati apa yang sebenarnya kita inginkan (kedamaian ketenangan), maka narimo ing pandhum bisa menjadi obat penawar sekaligus pengantar pulang ke rumah kedamaian dan ketenangan.
Ironinya saat kita sudah di rumah kedamaian, kebutuhan kita menjadi tercukupi, sepertinya kehidupan membuka diri dan mau bekerja sama saat kita bisa narimo ing pandhum. Sederhananya, jika saat ini ada kegelisahan melanda, cobalah di raba, mungkin saat ini kita sedang tidak menerima atau sedang dalam penolakan, yang berarti kita sedang pergi menjauhi kehidupan. Sebaliknya, jika ada ketulusan dalam setiap hal yang kita lakukan, bahkan dalam setiap nafas yang keluar masuk dalam paru-paru kita, kita telah pulang di rumah kehidupan.

Selasa, 17 April 2012

Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada

Tak sengaja saya memutar mp3 kolaborasi Chrisye dan Ahmad Dhani itu dari Jazzler.

“Jika surga dan neraka tak pernah ada...masihkah kau bersujud padaNya?”

Tertegun tiba-tiba batin ini mendengarnya, tersengat oleh liriknya. Jikalau memang surga dan neraka tidak ada, apa benar manusia termasuk saya masih mau menjalankan perintah-perintah Tuhan? Beribadah, mengerjakan amal shalih, menghindari dosa...

Saya tersengat. Mungkin selama ini dogma dari para ‘guru’ atau siapapun yang disematkan sebutan kyai/ustad/ulama atas dirinya begitu kuat menghujam. Dogma agar manusia mengerjakan amalan A hingga Z, karena barang siapa mengerjakannya maka mereka akan dihadiahi surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai...

Sebaliknya tinggalkanlah amalan-amalan yang dilarang, karena siksa luar biasa dalam neraka akan menjadi ganjarannya. Dan memang begitulah yang tertulis dalam Kitab Suci manapun.

Di sisi lain Kita juga diajarkan untuk ikhlas. Ketika bersedekah, kita diminta tidak berharap terimakasih atau pujian. Ketika beribadah, kita dilarang pamer karena ingin dipandang shaleh semata. Niatkan karena Tuhan agar mendapat ganjaran surga.

Tapi bukankah niatan ingin mendapatkan surga juga merupakan bentuk pamrih kepada Tuhan ?

“ Tuhan, dengan ikhlas aku niat bersedekah demi Engkau. Agar Kau berikan pahala dan ganti berlipat buatku ”. Memang kita telah bersedekah sembunyi-sembunyi, tak ingin dipuji pula, tapi diam-diam kita ingin Tuhan melipatgandakan nilai sedekah kita ... masihkah ini disebut ikhlas??

Sampai-sampai buku dan kajian tentang matematika sedekah yang ditulis seorang ustad laris manis di pasaran. Ambil contoh, penghasilan kita sekian rupiah, jika disedekahkan sekian persen, maka kita akan mendapatkan 700 kali lipatnya, maka tinggal mengkalkulasi saja... hehehe rasa-rasanya koq kita perhitungan sekali ya dengan Tuhan?? Lalu setelahmenunggu lama tidak kunjung mendapat balasan hasil seperti yang dirumuskan, kita mulai bertanya-tanya. Kita mulai ragu dengan janji Tuhan...

Mungkin Tuhan Maha Tahu sifat dasar manusia yang serakah dan perhitungan sampai-sampai dalam kitab disebutkan tentang ganjaran 700 kali lipat bagi yang bersedekah.

Di sekitar kita pun banyak amalan-amalan yang mengajari kita membaca bacaan tertentu (biasanya dicuplik dari Kitab Suci) sebanyak ratusan hingga ribuan kali supaya kita mendapatkan “keistimewaan”, misal bisa bertemu malaikat, atau supaya cepat kaya, dll.Manusia sepertinya penuh dengan pamrih rupanya.

Sementara itu, setiap hari kajian-kajian di televisi hanya menyajikan iming-iming surga dan betapa mengerikannya siksa neraka.

“Ustad, gimana jika saya melakukan ini... ?” demikian tanya seorang jamaah.

“Itu DOSA!!! Barangsiapa berbuat demikian akan disiksa ....anda harus BEGINI , baru anda akan selamat dan bisa masuk surga” begitu jawab si ustad.

Lagi-lagi seolah setiap tindakan kita dilandasi pamrih atas surga dan ketakutan akan neraka. Lantas dimana letak Tuhan di hati kita?

Dimana sebenarnya letak ikhlas itu??

Bagaimana jika surga dan neraka itu tak pernah ada?? Masihkah manusia mau berbuat amal kebajikan? Masihkah orang takut berbuat keburukan??

Tidak cukupkah alam semesta beserta isinya yang setiap hari menyedekahkan udara, air dan sinar matahari yang berlimpah menjadi alasan buat kita untuk berterimakasih kepada Tuhan?

Apa tidak malah kita yang seharusnya berbuat kebaikan terhadap semesta beserta isinya atas apa yang telah disediakan secara Cuma-Cuma berupa kehidupan ini??

Andai pertanyaan ini diajukan kepadamu, kawan, “Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau sudi menyembahNya?????”


Dikutip dari sini

Jumat, 16 Maret 2012

a Journey without Goal


“Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, Tuhanlah yang memutuskannya”, sering kita mendengar kalimat ini di ucapkan, disaat para siswa mendapatkan nilai rendah dalam ujian, seorang pengusaha sedang berupaya mewujudkan sebuah impian, atau orang tua yang sedih menerima kenyataan karena tidak berhasil mengirimkan anaknya kuliah di perguruan tinggi favorit atau gagal keluar negeri dll.

“Belum komplit atau belum sempurna”, itulah kesan seorang teman saat dia memiliki harapan yang kuat akan terwujudnya tujuan atau impian, karena kita terlalu fokus pada masa depan - saat ini yang begitu berlimpah tidak pernah terlihat, yang ada hanya kita sedang kekurangan ini dan itu, teman itu menjelaskannya. Makanya tidak heran jika banyak pembicara terkenal sekalipun mewanti-wanti bahwa hidup harus memiliki tujuan yang disertai harapan kuat akan terwujudnya hal itu sehingga kehidupan kita menjadi komplit dan sempurna.

Hal yang menakjubkan jika ada kawan saat ditanya, “apakah impianmu?”, dia menggelengkan kepala seakan ingin mengatakan bahwa “saya hidup tanpa tujuan, karena saya sudah sempurna dan lengkap”, namun kita akan menyebutnya bodoh dan tolol karena betapa rugi dia menjalani kehidupan ini.

Berangkat dari sini, karena merasa belum sempurna dijadikanlah tujuan adalah segalanya, dengan harapan jika terwujud maka sempurnalah hidup, di saat itu baru kemudian seseorang dikatakan berhasil dan sukses serta hidupnya baru bisa dikatakan berbahagia.

Pengingkaran akan saat ini, itulah yang selalu kita lakukan. Saat ini selalu kita anggap saat yang sulit, saat penuh masalah dan tantangan untuk menggapai masa yang jauh di depan sana, yang entah kapan kita akan menggapainya.

Pencapaian atau hasil itulah yang segalanya bagi kita. Sayangnya pencapaian yang dianggap bisa melengkapi kesempurnaan hidup harus berhadapan dengan realita hukum pasti ketidakkekekalan. Kita akan mendapati pencapaian saat ini kesedihan yang mendalam esok hari entah karena di cibir tetangga atau kalah nilai dengan pencapaian orang lain dst, pesta kemenangan hari ini harus berganti makian dan pertengkaran di lain hari.

Kata banyak guru bahwa munculnya harapan dimulai dari warisan kuno kita terpisah dengan yang lain, hal ini yang meyakinkan bahwa kita harus berlomba untuk lebih dari yang lain, dan bahwa karena jumlahnya sedikit makanya harus cepat-cepat, bahwa hidup yang layak dijalani itu adalah nomor 1 bukan 2 dst.

“Mengumpulkan materi di bawah matahari mirip menjaring angin”. Mendengar pesan guru ini banyak yang tidak menggubris terutama bagi yang selama ini masih menganggap bahwa karena kita terpisah makanya harus berlomba dan menempatkan pencapaian adalah segalanya.

Lain dengan teman-teman yang memiliki pikiran bahwa hidup adalah satu kesatuan bahwa perasaan di satu tempat memiliki pengaruh terhadap tempat lain seperti mencairnya es di suatu kutub bumi mempengaruhi iklim di belahan bumi lain, krisis ekonomi sebuah negara mempengaruhi kestabilan ekonomi sebuah benua, matinya binatang tertentu memunculkan jutaan ulat bulu bertebaran dimana-mana.

Berangkat dari pikiran kesatuan hidup dan ketidakkekekalan segalanya, kawan-kawan yang sudah mengerti bukannya mencengkeram harapan agar masa depan cemerlang dan sukses, malahan meniru kehidupan seperti air yang mengalir dengan kesadaran mendalam bahwa ada kecerdasan yang menumbuhkan rumput memunculkan bunga begitu indahnya yang tidak terjangkau oleh pikiran terkondisi manusia.

“Bila tanaman dan bunga di bungkus begitu indahnya, betapa manusia telah dibungkus dan di lengkapi dengan sempurnanya”, begitu kata seorang teman.

Bukti lain bahwa ketidakkekelan melingkupi kita adalah Seberapapun kuatnya perlindungan yang dimiliki akan suatu pencapaian, jika putaran waktu telah memintanya pudar kita tidak bisa menahannya, seperti saat bencana datang bukankah juga tidak meminta persetujuan terlebih dahulu.

Jadi apakah kita masih takut untuk hidup tanpa memuja harapan?, jika ada perasaan takut akan masa depan nanti bagaimana, maka di dalam diri masih bercokol perasaan terpisah, sebaliknya bila saat ini juga yang ada hanya ketenangan dan kedamaian serta keheningan maka harapan telah melemah kekuatannya dan berganti dengan kecerdasan yang tidak terdefinisikan.

Siang akan tetap berganti malam, awan putih tetap berganti dengan awan hitam atau sebaliknya, tapi kita tetap langitnya. Kita tetap melakukan apa yang kita sebut kerja, membuat rencana atau tujuan lainnya, namun hal itu bukanlah merupakan suatu pujaan atau keakuan lagi, namun dorongan aliran dari sumber yang tidak terkatakan.

Kawan sepertinya sudah lewat zamannya mengklaim diri dan mengatakan:”Hai lihat akulah yang menggapai ini, hai lihat aku sudah bisa memiliki BMW, hai lihat aku yang bergelar sarjana luar negeri, hai lihat akulah manusia pilihan sehingga bisa memiliki jabatan ini”. Seperti siang yang lupa akan malam segera tiba, seperti hujan yang tidak ingat kemarau akan segera datang, seperti pepatah para orang tua “kacang yang lupa akan kulitnya, keakuan selalu memposisikan lupa diri akan asal usulnya bahwa dirinya tersusun dari tanah, air, api udara dll dan bukan dirinya sendiri yang menyusunnya serta bukan pula yang melakukannya.

Kawan kini zamannya kita pulang ke rumah, jika kemarin mobil kita anggap rumah kita, gelar pendidikan sebagai rumah kita, anak-anak sebagai rumah kita, kini saatnya banyak melepaskan, banyak memberi kasih sayang dengan keheningan tanpa ada rasa aku yang melakukannya.

Seperti bunga tidak pernah berkata akan keharuman dan keindahannya, karena memang jauh di dalam dirinya tidak ada harapan ataupun tujuan pribadi baginya, kenyataannya begitu banyak yang mengagumi dan mendapatkan manfaatnya. Seakan dia berpesan untuk menjadi yang terbaik bukan memiliki tujuan atau harapan terbaik tapi tidak memiliki harapan dan tujuanlah yang membikin dia memancarkan yang terbaik.

Kamis, 23 Februari 2012

“Berhenti dikejar Keinginan"

“Rasanya betapa enaknya ya mereka”, ini lanjutan ungkapan kawan itu. Inilah realita keseharian, kita terpesona dan penuh keheranan dan meyakini bahwa memiliki kekayaan dan materi berlimpah di tiap saat yang ada hanya bahagia bahagia dan bahagia.

Namun coba kita renungkan bersama, Beberapa bulan yang lalu kita di kejutkan oleh peristiwa bunuh diri seorang pemain sepak bola terkenal dari eropa, matinya artis terkenal dengan kekayaan yang berlimpah dengan pil penenang yang juga tidak kalah jauh berlimpah, dan tentu akan panjang daftarnya jika terus ditelusuri.

“ Apa yang membuat mereka tidak bisa bahagia dengan kekayaan yang sangat berlimpah?”, tanya seorang teman.

Seorang guru pernah bertutur: “di mana ada kemelekatan disana ada keakuan dan di sana pula ladang subur penderitaan berada ”.

Persoalan mendasar adalah keakuan seperti menentang hukum pasti kehidupan, di mana hidup mengenal ketidakkekalan sehingga rasa keakuan itu akhirnya menderita dan menderita, seperti awan putih yang hilang di langit tapi kita tetap menginginkannya ada di langit, seperti daun jatuh dari tangkainya dan kita menginginkan untuk tetap pada tangkainya, dan disinilah hidup hanya berupa penderitaan dan penderitaan.

Menyadari betapa berbahayanya melawan hukum kehidupan dengan terus meletakkan keinginan di atas segalanya yang berupaya kehidupan harus mengikuti keinginan dan banyak keinginan, maka banyak guru dan kawan yang memindahkan alamat bahagia bukan pada hal-hal eksternal, melainkan dengan membangunkan kesadaran yang mendalam.

Sadar bahwa kita bisa mengatur jumlah makanan yang bisa kita makan saat makan tanda kita sudah mengetahui bukan makanan yang membahagiakan, jika saat makan yang penting enak, maka kita sebenarnya tidak makan makanan, tapi kitalah yang dimakan oleh makanan.

Kembali tentang keinginan, membaca catatan Eckhart Tolle dalam A New Earth : “Kebutuhan untuk sesuatu yang lebih itulah keinginan”. Betapa ini sangat menyadarkan akan bahaya dari keinginan jika tidak kita amati dan kelola. Guru lain pernah mengatakan bahwa sebenarnya apa yang kita butuhkan hanyalah sedikit namun keinginan tidak memiliki batas yang membuat kebutuhan nampaknya sangat banyak dan rumit.

Apa yang menyebabkan pejabat berbohong kepada publik?, tentu ada banyak keinginan yang bersembunyi yang terus mengendalikannnya. Maraknya korupsi dan banyak kejahatan lainnya tentu bentuk lain dari berbahayanya keinginan yang dijadikan tuan.

Seperti mata pancing yang tertancap pada mulut ikan, siapa saja yang melekatkan kebahagiaan pada ha-hal di luar(materi, nama tenar, dll) dia sulit melepaskan diri. Marah, sakit hati, iri dengki adalah ekspresi dari kecanduan kemelekatan pada hal-hal di luar diri. Bak seekor kucing yang mencuri ikan asin saat tuan rumahnya tidak memberinya makan seperti yang biasa di berikannya, seperti itulah kecanduan kemelakatan kebahagiaan pada hal-hal di luar.

Berbeda dengan kebanyakan dari kita yang meletakkan kebahagiaan pada hal-hal eksternal yang semakin berlimpah dan kaya semakin gelisah dan menderita, Guru-guru yang meletakkan kebahagiaan di dalam justru sebaliknya, seperti pendaki gunung semakin naik semakin sejuk .

Jika fokus pada hal-hal eksternal hanyalah bagaimana bisa mendapatkan dan banyak mengumpulkan piagam pujian, namun kebahagiaan di dalam dibangunkan dengan banyak melepaskan yang justru tidak semakin berkurang malahan semakin meningkat.

Kawan yang sudah mulai tersadar akan hal ini seringkali berucap: “ Seperti ada ruang yang sangat luas di dalam diri ketika memindahkan kebahagiaan dari luar ke dalam, memang di sana masih ada keinginan yang berbunyi namun sudah tidak bisa mengganggu lagi”.

Ibarat air yang mampu mencapai samudera dengan kelenturan dan kelembutan, kawan-kawan yang sudah mengerti hal ini di setiap saatnya hanya tersenyum dan tersenyum bahagia menerima apapun yang datang.

Seperti matahari yang terbit di pagi hari dan tenggelam di sore hari orang yang sudah menyadari bahayanya kemelekatan tidak mencari-cari matahari terbit di tempat yang jauh dan tinggi, karena saat terbit atau tenggelam di manapun sama indahnya.

Pertanyaan yang sering di lupakan oleh kita adalah setelah impian yang di kejar terpenuhi, apakah keinginan sudah habis?, apakah keinginan sudah tidak ada?. Tentu kita pasti akan menjawab masih ada, dan yang mengejutkan keinginan itu justru cenderung naik. Setelah bisa membeli sepeda, ingin membeli motor, setelah terpenuhi muncul keinginan beli mobil, muncul lagi keinginan keliling dunia dst.

Setelah kelelahan dan letih di kejar keinginan baru tersadar kalau perilaku ini mirip seekor anjing yang di beri mainan yang berbentuk tulang diterkamnya di kira tulang sungguhan ternyata bukan, di lempar lagi di terkam lagi dst.

Kita selalu mengira mendapatkan keinginan itu merupakan kebahagiaan yang sesungguhnya, setelah mendapatkan ternyata bukan, kita mencarinya lagi dengan keinginan yang baru namun lagi lagi ternyata bukan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Saat kita melihat dengan mata telanjang matahari bergerak dari timur ke barat dan tenggelam, belakangan tersadar setelah mengagumi terbitnya mentari kesana kemari ternyata matahari tidak bergerak kemana-mana.

Hal ini semakin memperjelas bahwa kebahagiaan tidak mengikuti keinginan, kebahagiaan sejati menyala dari dalam dan dia tidak berada di tempat yang jauh.

Kamis, 09 Februari 2012

Ingin kaya, ingin bahagia



Memburu, berlari dan berkejaran, sebelum terwujud tidak akan pernah menyerah, itulah lagu saat keinginan didudukkan sebagai raja.

Raja dengan perintah-perintahnya, dan sabdanya memerintah kita untuk melakukan, menjadi dan memiliki ini dan itu. Dasar tujuannya hanya satu agar bahagia. Meski harus membayar mahal yakni tidak ada ruang untuk sejenak menikmati dan istirahat.

Capailah cita-citamu setinggi-tingginya, kalau perlu setinggi langit, masih terngiang pesan orang tua di masa kecil dulu. Namun sepertinya tinggi langit tidak memiliki ukuran dan batas, jadinya tetap tidak pernah kesampaian (baca: tidak pernah terpuaskan).

Tidak ada yang salah dengan semua itu. Namun coba perhatikan yang berikut: “Saat kemarau datang , menginginkan hujan segera datang adalah hal yang sangat sulit, jika kita terus memaksa bukankah hanya derita yang akan didapat”.

Rasa terburu, tergesa, kebanyakan di dorong oleh keinginan untuk di anggap lebih; lebih pintar, lebih baik, lebih cerdas, menjadi nomor 1 dan lebih-lebih yang lain. Padahal Rumput tidak lebih buruk atau lebih baik dari pohon bambu yang lebih tinggi, naik sepeda onthel tidak lebih rendah atau lebih tinggi di banding menyetir mobil.

Bagi yang rajin ke tempat ibadah dianggap lebih baik dari pada yang hanya berdoa di rumah, padahal di semua tempat adalah tempat ibadah, termasuk di pasar, di jalan raya, dan ini menutup realita bahwa justru tempat ibadah yang sesungguhnya adalah aktifitas keseharian.

Seorang kawan tertarik untuk melihat lebih dalam lagi, ajukan pertanyaan pada diri kita sendiri, katanya: “berapa lama saya bahagia saat memiliki mobil baru?, berapa lama saya bahagia saat memiliki sepeda onthel baru?, saya percaya keduanya hanya memiliki bahagia yang sebentar.

Hal ini sebuah sinyal dengan menjadikan hal-hal di luar sebagai sumber kebahagiaan tidak akan bertahan lama, tidak ada yang bisa membahagiakan hal-hal di luar diri. Ini mirip dengan apa yang di rasakan mendalam oleh Guru yang terkenal:

“Bertahun-tahun ku ketuk pintu itu, lama tidak di buka. Saat terbuka, ternyata aku mengetuknya dari dalam”.

Menginginkan bahagia dengan mewujudkan impian seperti berupaya mencengkeram pikiran senang saat impian terwujud dan menolak pikiran sedih saat semua harus pergi dan hilang. Ini seperti kita memaksa langit hanya berawan putih dan menolak awan hitam datang, dan awan putih di larang pergi.

Keinginan untuk kaya, patut kita hargai karena semua memang sedang menuju cahaya, namun seperti realita yang ada, bukannya bahagia yang didapat melainkan keluhan keluhan dan keluhan yang menghiasi sehari-hari. akhirnya lagu yang selalu kita nyanyikan menjadi ingin kaya lupa bahagia.

Ini bisa kita perhatikan di kehidupan sehari-hari, saat sebelum menikah selalu terbayang betapa indahnya berdua dengan isteri/suami, setelah menikah setiap hari pertengkaran yang di dapat.

Impian ingin menjadi pilot mungkin keinginan banyak kawan...beberapa hari yang lalu, ada yang mengejutkan BNN menangkap pilot sedang pesta sabu di hotel tepat sebelum menerbangkan pesawat.

Oleh karena itu saran dari seorang Guru patut di renungkan agar kita bisa kaya bahagia, bukan menjadikan keinginan sebagai raja melainkan sebagai pembantu kita. Saat bangun tidur kita tersenyum karena kita sudah percaya semua terselesaikan dan terpenuhi karena ada pembantu.

Pandangan jadi tersembuhkan dan berubah menjadi seperti langit yang tinggi sementara hati kita serendah bumi yang kita pijak. Awan putih dan hitam tetap menghiasi langit namun warna langit tetap biru. Gagal dan berhasil tetap menghiasi hidup kita, namun kita selalu tersenyum dan tersenyum.

Sepeda onthel ataupun mobil yang kita kendarai tidak pernah mempengaruhi hati kita untuk bisa tersenyum atau tidak, karena tersenyum sudah menjadi kealamian. menjadikan hati seperti bumi apapun yang di lemparkan (pujian, cacian makian) diolahnya menjadi bunga dan buah kasih dan cinta.