“Melampaui keserakahan diri”
Beberapa hari yang lalu kita di kejutkan oleh peristiwa meninggalnya seorang artis anak dari aktor pemain Rambo Sylvester Stallone yakni Sage Stallone (36th) yang terkenal saat main film Rocky bersama ayahnya, tewas di duga over dosis (www.jpnn.com, 14 Juli 2012). Beberapa bulan lalu lagi-lagi publik dikejutkan dengan tewasnya seorang diva dunia dalam kamar mandi salah satu hotel. Belakangan publik baru mengetahui bahwa sang diva ternyata telah lama addicted terhadap narkoba dan minuman keras.
Belum tua sudah pelupa
Persoalan mendasarnya sekarang adalah ingin hidup terus bahagia tanpa mau menderita. Falsafah keakuan seperti ini sudah pasti menentang kehidupan itu sendiri, di mana hidup mengenal ketidakkekekalan, ada saatnya awan putih datang, ada waktunya ia pergi. Kita tak bisa terus menginginkannya ada di langit.
Ketika tiba waktunya bunga layu kemudian jatuh dari tangkainya tetapi kita menginginkannya untuk tetap bersemi, bukankah hal ini juga merupakan penyakit lupa (akan ketidakkekekalan segala sesuatu) yang telah lama menjangkiti hati kita?
Pertanyaan lain yang sering terlupakan adalah setelah impian yang di kejar terpenuhi, apakah keinginan kita sudah habis? Tidak ada lagi ? Tentu sebagai manusia, kita pasti akan menjawab masih ada, dan yang mengejutkan keinginan itu justru cenderung bertambah besar. Setelah bisa membeli sepeda, ingin membeli motor, setelah itu terpenuhi muncul keinginan memiliki mobil, muncul lagi keinginan menaklukkan pasar, belum puas lagi, lantas ingin terjun menjadi penguasa, dst.
Kita selalu mengira mendapatkan keinginan itu merupakan kebahagiaan yang sesungguhnya, setelah mendapatkan ternyata bukan, kita mencarinya lagi dengan keinginan yang baru namun lagi lagi ternyata bukan kebahagiaan yang sesungguhnya yang di dapat.
Saat kita melihat dengan mata telanjang matahari bergerak dari timur ke barat dan tenggelam, belakangan tersadar setelah mengagumi terbitnya mentari kesana kemari ternyata matahari tidak bergerak kemana-mana.
Melihat tumpukan persoalan dan masalah akibat kelupaan kita, kinilah saatnya kita mulai menumbuhkan kesadaran betapa berbahayanya melawan hukum kehidupan dengan terus meletakkan keinginan di atas segalanya yang berupaya kehidupan harus mengikuti keinginan dan banyak keinginan, bukankah kini saatnya kita mulai harus memindahkan alamat kebahagiaan yang bermula dari luar ke dalam, dari memimpikan enaknya menjadi pejabat dirubah menjadi betapa enaknya melayani masyarakat, dari memimpikan untuk dipuji karena kaya saatnya kini menumbuhkan perasaan menjadi diri sendiri.
Sadar bahwa kita bisa mengatur kebutuhan yang memang kita perlukan, kita tidak perlu lagi untuk melebihkan anggaran belanja sehingga tidak terjadi pemborosan dan bergaya yang tidak perlu.
Mengenai tumbuhnya kesadaran seperti ini tepat jika meminjam kata-kata indah dari Rumi : “Yesterday I was clever, so I wanted to changed the world. Now I am wise, so I am changing myself ”. Guru lain pernah mengatakan bahwa sebenarnya apa yang kita butuhkan hanyalah sedikit namun keinginan tidak memiliki batas yang membuat kebutuhan nampaknya sangat banyak dan rumit.
Sekarang kita sudah tahu apa yang menyebabkan pejabat berbohong kepada publik?, apa yang mendorong sampai 173 kepala daerah berurusan dengan hukum?, Maraknya korupsi dan banyak kejahatan lainnya tentu bentuk lain dari berbahayanya keinginan yang dijadikan tuan atau pemimpin.
Diantara kita yang sudah mulai tersadar akan hal ini seringkali berucap: “ Seperti ada ruang yang sangat luas di dalam diri ketika memindahkan kebahagiaan dari luar ke dalam, memang di sana masih ada keinginan yang berbunyi namun sudah tidak bisa mengganggu lagi”.
Seperti matahari yang terbit di pagi hari dan tenggelam di sore hari, kita yang sudah sadar dan melihat kebahagiaan di dalam (rasa cukup yang sudah di tumbuhkan) tidak mencari-cari matahari terbit di tempat yang jauh dan tinggi, karena saat terbit atau tenggelam di manapun sama indahnya.