Kamis, 23 Februari 2012

“Berhenti dikejar Keinginan"

“Rasanya betapa enaknya ya mereka”, ini lanjutan ungkapan kawan itu. Inilah realita keseharian, kita terpesona dan penuh keheranan dan meyakini bahwa memiliki kekayaan dan materi berlimpah di tiap saat yang ada hanya bahagia bahagia dan bahagia.

Namun coba kita renungkan bersama, Beberapa bulan yang lalu kita di kejutkan oleh peristiwa bunuh diri seorang pemain sepak bola terkenal dari eropa, matinya artis terkenal dengan kekayaan yang berlimpah dengan pil penenang yang juga tidak kalah jauh berlimpah, dan tentu akan panjang daftarnya jika terus ditelusuri.

“ Apa yang membuat mereka tidak bisa bahagia dengan kekayaan yang sangat berlimpah?”, tanya seorang teman.

Seorang guru pernah bertutur: “di mana ada kemelekatan disana ada keakuan dan di sana pula ladang subur penderitaan berada ”.

Persoalan mendasar adalah keakuan seperti menentang hukum pasti kehidupan, di mana hidup mengenal ketidakkekalan sehingga rasa keakuan itu akhirnya menderita dan menderita, seperti awan putih yang hilang di langit tapi kita tetap menginginkannya ada di langit, seperti daun jatuh dari tangkainya dan kita menginginkan untuk tetap pada tangkainya, dan disinilah hidup hanya berupa penderitaan dan penderitaan.

Menyadari betapa berbahayanya melawan hukum kehidupan dengan terus meletakkan keinginan di atas segalanya yang berupaya kehidupan harus mengikuti keinginan dan banyak keinginan, maka banyak guru dan kawan yang memindahkan alamat bahagia bukan pada hal-hal eksternal, melainkan dengan membangunkan kesadaran yang mendalam.

Sadar bahwa kita bisa mengatur jumlah makanan yang bisa kita makan saat makan tanda kita sudah mengetahui bukan makanan yang membahagiakan, jika saat makan yang penting enak, maka kita sebenarnya tidak makan makanan, tapi kitalah yang dimakan oleh makanan.

Kembali tentang keinginan, membaca catatan Eckhart Tolle dalam A New Earth : “Kebutuhan untuk sesuatu yang lebih itulah keinginan”. Betapa ini sangat menyadarkan akan bahaya dari keinginan jika tidak kita amati dan kelola. Guru lain pernah mengatakan bahwa sebenarnya apa yang kita butuhkan hanyalah sedikit namun keinginan tidak memiliki batas yang membuat kebutuhan nampaknya sangat banyak dan rumit.

Apa yang menyebabkan pejabat berbohong kepada publik?, tentu ada banyak keinginan yang bersembunyi yang terus mengendalikannnya. Maraknya korupsi dan banyak kejahatan lainnya tentu bentuk lain dari berbahayanya keinginan yang dijadikan tuan.

Seperti mata pancing yang tertancap pada mulut ikan, siapa saja yang melekatkan kebahagiaan pada ha-hal di luar(materi, nama tenar, dll) dia sulit melepaskan diri. Marah, sakit hati, iri dengki adalah ekspresi dari kecanduan kemelekatan pada hal-hal di luar diri. Bak seekor kucing yang mencuri ikan asin saat tuan rumahnya tidak memberinya makan seperti yang biasa di berikannya, seperti itulah kecanduan kemelakatan kebahagiaan pada hal-hal di luar.

Berbeda dengan kebanyakan dari kita yang meletakkan kebahagiaan pada hal-hal eksternal yang semakin berlimpah dan kaya semakin gelisah dan menderita, Guru-guru yang meletakkan kebahagiaan di dalam justru sebaliknya, seperti pendaki gunung semakin naik semakin sejuk .

Jika fokus pada hal-hal eksternal hanyalah bagaimana bisa mendapatkan dan banyak mengumpulkan piagam pujian, namun kebahagiaan di dalam dibangunkan dengan banyak melepaskan yang justru tidak semakin berkurang malahan semakin meningkat.

Kawan yang sudah mulai tersadar akan hal ini seringkali berucap: “ Seperti ada ruang yang sangat luas di dalam diri ketika memindahkan kebahagiaan dari luar ke dalam, memang di sana masih ada keinginan yang berbunyi namun sudah tidak bisa mengganggu lagi”.

Ibarat air yang mampu mencapai samudera dengan kelenturan dan kelembutan, kawan-kawan yang sudah mengerti hal ini di setiap saatnya hanya tersenyum dan tersenyum bahagia menerima apapun yang datang.

Seperti matahari yang terbit di pagi hari dan tenggelam di sore hari orang yang sudah menyadari bahayanya kemelekatan tidak mencari-cari matahari terbit di tempat yang jauh dan tinggi, karena saat terbit atau tenggelam di manapun sama indahnya.

Pertanyaan yang sering di lupakan oleh kita adalah setelah impian yang di kejar terpenuhi, apakah keinginan sudah habis?, apakah keinginan sudah tidak ada?. Tentu kita pasti akan menjawab masih ada, dan yang mengejutkan keinginan itu justru cenderung naik. Setelah bisa membeli sepeda, ingin membeli motor, setelah terpenuhi muncul keinginan beli mobil, muncul lagi keinginan keliling dunia dst.

Setelah kelelahan dan letih di kejar keinginan baru tersadar kalau perilaku ini mirip seekor anjing yang di beri mainan yang berbentuk tulang diterkamnya di kira tulang sungguhan ternyata bukan, di lempar lagi di terkam lagi dst.

Kita selalu mengira mendapatkan keinginan itu merupakan kebahagiaan yang sesungguhnya, setelah mendapatkan ternyata bukan, kita mencarinya lagi dengan keinginan yang baru namun lagi lagi ternyata bukan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Saat kita melihat dengan mata telanjang matahari bergerak dari timur ke barat dan tenggelam, belakangan tersadar setelah mengagumi terbitnya mentari kesana kemari ternyata matahari tidak bergerak kemana-mana.

Hal ini semakin memperjelas bahwa kebahagiaan tidak mengikuti keinginan, kebahagiaan sejati menyala dari dalam dan dia tidak berada di tempat yang jauh.

Kamis, 09 Februari 2012

Ingin kaya, ingin bahagia



Memburu, berlari dan berkejaran, sebelum terwujud tidak akan pernah menyerah, itulah lagu saat keinginan didudukkan sebagai raja.

Raja dengan perintah-perintahnya, dan sabdanya memerintah kita untuk melakukan, menjadi dan memiliki ini dan itu. Dasar tujuannya hanya satu agar bahagia. Meski harus membayar mahal yakni tidak ada ruang untuk sejenak menikmati dan istirahat.

Capailah cita-citamu setinggi-tingginya, kalau perlu setinggi langit, masih terngiang pesan orang tua di masa kecil dulu. Namun sepertinya tinggi langit tidak memiliki ukuran dan batas, jadinya tetap tidak pernah kesampaian (baca: tidak pernah terpuaskan).

Tidak ada yang salah dengan semua itu. Namun coba perhatikan yang berikut: “Saat kemarau datang , menginginkan hujan segera datang adalah hal yang sangat sulit, jika kita terus memaksa bukankah hanya derita yang akan didapat”.

Rasa terburu, tergesa, kebanyakan di dorong oleh keinginan untuk di anggap lebih; lebih pintar, lebih baik, lebih cerdas, menjadi nomor 1 dan lebih-lebih yang lain. Padahal Rumput tidak lebih buruk atau lebih baik dari pohon bambu yang lebih tinggi, naik sepeda onthel tidak lebih rendah atau lebih tinggi di banding menyetir mobil.

Bagi yang rajin ke tempat ibadah dianggap lebih baik dari pada yang hanya berdoa di rumah, padahal di semua tempat adalah tempat ibadah, termasuk di pasar, di jalan raya, dan ini menutup realita bahwa justru tempat ibadah yang sesungguhnya adalah aktifitas keseharian.

Seorang kawan tertarik untuk melihat lebih dalam lagi, ajukan pertanyaan pada diri kita sendiri, katanya: “berapa lama saya bahagia saat memiliki mobil baru?, berapa lama saya bahagia saat memiliki sepeda onthel baru?, saya percaya keduanya hanya memiliki bahagia yang sebentar.

Hal ini sebuah sinyal dengan menjadikan hal-hal di luar sebagai sumber kebahagiaan tidak akan bertahan lama, tidak ada yang bisa membahagiakan hal-hal di luar diri. Ini mirip dengan apa yang di rasakan mendalam oleh Guru yang terkenal:

“Bertahun-tahun ku ketuk pintu itu, lama tidak di buka. Saat terbuka, ternyata aku mengetuknya dari dalam”.

Menginginkan bahagia dengan mewujudkan impian seperti berupaya mencengkeram pikiran senang saat impian terwujud dan menolak pikiran sedih saat semua harus pergi dan hilang. Ini seperti kita memaksa langit hanya berawan putih dan menolak awan hitam datang, dan awan putih di larang pergi.

Keinginan untuk kaya, patut kita hargai karena semua memang sedang menuju cahaya, namun seperti realita yang ada, bukannya bahagia yang didapat melainkan keluhan keluhan dan keluhan yang menghiasi sehari-hari. akhirnya lagu yang selalu kita nyanyikan menjadi ingin kaya lupa bahagia.

Ini bisa kita perhatikan di kehidupan sehari-hari, saat sebelum menikah selalu terbayang betapa indahnya berdua dengan isteri/suami, setelah menikah setiap hari pertengkaran yang di dapat.

Impian ingin menjadi pilot mungkin keinginan banyak kawan...beberapa hari yang lalu, ada yang mengejutkan BNN menangkap pilot sedang pesta sabu di hotel tepat sebelum menerbangkan pesawat.

Oleh karena itu saran dari seorang Guru patut di renungkan agar kita bisa kaya bahagia, bukan menjadikan keinginan sebagai raja melainkan sebagai pembantu kita. Saat bangun tidur kita tersenyum karena kita sudah percaya semua terselesaikan dan terpenuhi karena ada pembantu.

Pandangan jadi tersembuhkan dan berubah menjadi seperti langit yang tinggi sementara hati kita serendah bumi yang kita pijak. Awan putih dan hitam tetap menghiasi langit namun warna langit tetap biru. Gagal dan berhasil tetap menghiasi hidup kita, namun kita selalu tersenyum dan tersenyum.

Sepeda onthel ataupun mobil yang kita kendarai tidak pernah mempengaruhi hati kita untuk bisa tersenyum atau tidak, karena tersenyum sudah menjadi kealamian. menjadikan hati seperti bumi apapun yang di lemparkan (pujian, cacian makian) diolahnya menjadi bunga dan buah kasih dan cinta.